🌙 Api Di Bukit Menoreh 415
ApiDi Bukit Menoreh Versi Flam Zahra Jilid 403. Api Di Bukit Menoreh Versi Flam Zahra Jilid 404 . Content Guidelines. Report this story. You may also like. THEORUZ. 65 parts Ongoing . 65 parts. Ongoing - Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. T
. Category Archives Seri II Buku 101 Seri II Jilid 1 ♦ 15 Juli 2010 Sebuah padepokan kecil akan lahir di sebelah Kademangan Jati Anom. Di atas sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi dengan berbagai macam pohon buah-buahan, akan dibangun kelengkapan dari sebuah padepokan betapapun kecilnya. Sebuah rumah induk dengan pendapa dan bagian-bagian yang lain, sebuah tempat ibadah, kolam dan sebuah kandang kuda. Di bagian belakang akan terdapat beberapa buah … Baca lebih lanjut → Buku 102 Seri II Jilid 2 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang-orang yang membuat lingkaran di sekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang hampir di luar nalar. Ledakan cambuk Swandaru telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan kepingan-kepingan baja yang melingkar di antaranya ternyata telah berhasil menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga di … Baca lebih lanjut → Buku 103 Seri II Jilid 3 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang-orang yang berada di dalam sanggar itupun menjadi tegang. Mereka mulai membayangkan apa yang bakal terjadi. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga apabila keduanya tenggelam dalam arus perasaan yang tidak terkendali, maka akan terjadi perang tanding yang sangat dahsyat di dalam sanggar itu. Tetapi di dalam sanggar … Baca lebih lanjut → Buku 104 Seri II Jilid 4 admin ♦ 15 Juli 2010 “Jika gelora di dalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala di dalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,“ berkata Sumangkar di dalam hatiya. Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai … Baca lebih lanjut → Buku 105 Seri II Jilid 5 admin ♦ 15 Juli 2010 “Jika tidak? Ternyata keempat orang perwira itu belum kita kenal sama sekali.“ desis Agung Sedayu. “Tentu agak aneh.” “Apakah mungkin karena sesuatu hal Pajang mengirimkan langsung prajurit-prajurit ke daerah ini?,“ bertanya Agung Sedayu. “Menurut pertimbanganku, itu tidak mungkin. Mereka tinggal memerintahkan saja kepada Untara seandainya mereka mendapat suatu keterangan tentang kejahatan atau semacamnya di … Baca lebih lanjut → Buku 106 Seri II Jilid 6 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Argapati termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu bertanya, “Tetapi Ki Waskita akan pergi seorang diri tanpa kawan di perjalanan.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Jalan rasa-rasanya menjadi semakin aman.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu memang memerlukan seorang kawan untuk mempersiapkan pasukannya. Setelah pembicaraan itu tuntas, maka Ki … Baca lebih lanjut → Buku 107 Seri II Jilid 7 admin ♦ 15 Juli 2010 Perintah itupun segera menjalar kepada setiap pemimpin kelompok dan prajurit, meskipun mereka tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Namun perintah itupun disusul oleh perintah Swandaru kepada pasukannya, bahwa mereka tidak hanya sekedar menunggu di mulut lembah. Mereka akan mengikuti gerak pasukan Mataram. Jika benar-benar diperlukan, maka mereka akan langsung terlibat ke dalam pertempuran.“ Sementara itu, … Baca lebih lanjut → Buku 108 Seri II Jilid 8 admin ♦ 15 Juli 2010 Sesaat Ki Gede Telengan memusatkan segenap kemampuan ilmu dan kekuatannya pada sorot matanya. Dengan tangan yang tersilang, ia berdiri tegak. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah pisau-pisau yang menyambarnya lewat. Namun tiba tiba terasa seakan-akan urat-urat darahnya bagaikan tersumbat di dadanya. Seakan-akan batu sebesar bukit telah menindihnya. Bukan saja darahnya yang … Baca lebih lanjut → Buku 109 Seri II Jilid 9 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Gede Menoreh benar-benar berada dalam kesulitan. Seakan-akan ia hanya berkesempatan menahan dan menangkis serangan lawannya. Tetapi ia sendiri tidak sempat menyerang, karena dengan licik Ki Tumenggung Wanakerti selalu menjahuinya. Ki Gede Menoreh tidak mau memaksa diri untuk meloncat menyerang. Ia tidak mau menanggung akibat yang parah karena kakinya. Sehingga dengan demikian maka ia … Baca lebih lanjut → Buku 110 Seri II Jilid 10 admin ♦ 15 Juli 2010 Di bagian lain dari sayap itu, Ki Waskita telah berhasil mengatasi kusulitan yang paling gawat. Iapun telah berhasil menekan lawannya yang mulai lelah. Lawannya yang bertubuh dan berkekuatan raksasa itu, ternyata sulit untuk mengimbangi Ki Waskita. Bukan saja ketangkasan dan kecepatan bergerak, tetapi ternyata Ki Waskita memiliki kelebihan daya tahan seperti halnya Kiai Gringsing. … Baca lebih lanjut → Navigasi pos
> Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3
Usage Attribution-NonCommercial-ShareAlike International Topics Api Di Bukit Menoreh 001~396 Collection booksbylanguage_indonesian; booksbylanguage Language Indonesian Api Di Bukit Menoreh 001~396 Addeddate 2019-03-06 090117 Identifier ApiDiBukitMenoreh_201903 Identifier-ark ark/13960/t2h77z19f Ocr ABBYY FineReader Extended OCR Ppi 300 Scanner Internet Archive HTML5 Uploader plus-circle Add Review comment Reviews There are no reviews yet. Be the first one to write a review. 6,118 Views 1 Favorite DOWNLOAD OPTIONS download 40 files ABBYY GZ Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 40 files DAISY Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download For print-disabled users download 40 files EPUB Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.epub download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.epub download download 40 files FULL TEXT Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file ITEM TILE download download 40 files KINDLE Uplevel BACK - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api Di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api di Bukit Menoreh download - Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.mobi download - Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.mobi download download 40 files PDF Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180.pdf download 1, Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190.pdf download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200.pdf download download 1 file PNG download download 40 files SINGLE PAGE PROCESSED JP2 ZIP Uplevel BACK Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api Di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api di Bukit Menoreh download Api_Di_Bukit_Menoreh 001-010 download Api_Di_Bukit_Menoreh 011-020 download Api_Di_Bukit_Menoreh 021-030 download Api_Di_Bukit_Menoreh 031-040 download Api_Di_Bukit_Menoreh 041-050 download Api_Di_Bukit_Menoreh 051-060 download Api_Di_Bukit_Menoreh 061-070 download Api_Di_Bukit_Menoreh 071-080 download Api_Di_Bukit_Menoreh 081-090 download Api_Di_Bukit_Menoreh 091-100 download Api_Di_Bukit_Menoreh 101-110 download Api_Di_Bukit_Menoreh 111-120 download Api_Di_Bukit_Menoreh 121-130 download Api_Di_Bukit_Menoreh 131-140 download Api_Di_Bukit_Menoreh 141-150 download Api_Di_Bukit_Menoreh 151-160 download Api_Di_Bukit_Menoreh 161-170 download Api_Di_Bukit_Menoreh 171-180 download Api_Di_Bukit_Menoreh 181-190 download Api_Di_Bukit_Menoreh 191-200 download download 1 file TORRENT download download 247 Files download 46 Original SHOW ALL IN COLLECTIONS Indonesian Books by Language Books by Language Uploaded by private-library on March 6, 2019
api di bukit menoreh 415